Selasa, 30 Juli 2013

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Gambaran Aktifitas Wanita "Masa Kini" Dalam Politik (2)

Gambaran Aktifitas Wanita "Masa Kini" Dalam Politik  (2)
 Oleh : Alfii Majidah


LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

LSM Lahir dari kekecewaan beberapa aktivis ’66 yang sangat berharap Orde Baru melakukan perubahan dan perbaikan di segala bidang, terutama ekonomi. Harapan tersebut ternyata tidak menjadi kenyataan. LSM segera menyatakan diri independen dari negara, bekerja memperkuat posisi masyarakat sipil. Namun muncul perkembangan berikutnya sehubungan dengan sentralisme negara dalam melaksanakan politik pembangunan yang tidak menyertakan kepentingan rakyat.

Jalur-jalur LSM juga banyak mendorong lahirnya organisasi-organisasi wanita, konon setelah melihat kaum wanita juga menjadi korban yang diperparah oleh adanya politik gender Orde Baru.

Organisasi wanita LSM mempunyai sikap dan peran politik menolak kooperasi Orde Baru. Juga membela dan membawa suara wanita yang terepresi Orba.

LSM wanita pertama muncul tahun 1982 di yogyakarta dengan nama yayasan Annisa Swasti (Yasanti). Programnya membina buruh dan petani perempuan. Dua tahun kemudian muncul Yayasan Kalyanamitra di Jakarta. Sejak awal yayasan ini melakukan kegiatan dengan buruh wanita, lalu memposisikan organisasinya di kalangan menengah dan secara khusus memberi supporting informasi persoalan ke jaringan LSM. Setelah itu Organisasi-organisasi dengan identitas wanita LSM bermunculan, diantaranya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Mardika (Jakarta), PPSW (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Jakarta), APIK (Asosiasi Perempuan untuk Keadilan ; Jakarta), LSPPA (Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak ; Yogyakarta), SBPY (Sekretariat Bersama Perempuan Yogya), Rifka Annisa (Yogyakarta), Divisi Advokasi Solidaritas Perempuan (Jakarta).

APIK didirikan oleh 7 orang wanita pengacara di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 1995. APIK bertujuan untuk ikut mewujudkan masyarakat yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki dalam segala aspek kehidupan. Prioritas yang diambil adalah mewujudkan sistem hukum yang adil dipandang dari pola relasi kekuasaan dalam masyarakat, khususnya relasi perempuan-lelaki, yang ditandai oleh ciri-ciri ; tidak terjadi marjinalisasi, subordinasi, stereotyping, kekerasan secara fisik, mental dan seksual serta tidak terjadi beban berlebihan dalam satu fihak.

Tujuan tersebut akan dicapai dengan berpedoman pada nilai-nilai keadilan, kerakyatan, persamaan, kemandirian, emansipasi, persaudaraan, non sektarian, anti kekerasan dan nilai-nilai kelestarian lingkungan.

Sedangkan divisi advokasi solidaritas perempuan yang dikoordinasi oleh Yuniyanti Chuzaifah bertujuan menangani perempuan pekerja migran (TKW). Solidaritas Perempuan ini mencoba memperbaiki kondisi lewat berbagai bentuk misalnya dialog dengan pemerintah, mengajak masyarakat ikut peduli dengan TKW juga, melakukan demonstrasi. Demonstrasi ditempuh karena dianggap lebih cepat mendapat respon dari pihak-pihak yang terkait.

Kenyataannya kebanyakan LSM cenderung mengambil langkah operasional praktis dalam berperan. Sehingga terkesan aktivitas mereka tidak mempengaruhi perubahan kebijakan yang ada. Menurut para aktivis LSM, langkah praktis yang bersifat nyata bisa dilakukan dengan memotori rakyat untuk memprotes kebijakan atau melakukan unjuk rasa. Dengan cara ini diharapkan para penentu kebijakan dapat mempertimbangkan suara-suara rakyat. Namun langkah ini sering kali dituding memunculkan kerusuhan, minimal konflik. Bahkan tak jarang bila emosi rakyat tak terkendali, konflik ini dapat mengakibatkan pengrusakan fasilitas-fasilitas milik kalangan tertentu ataupun umum.

Hal ini dapat terjadi mengingat langkah praktis ini bersifat temporal. Perjuangannyapun bersifat parsial tanpa memiliki kejelasan visi yang bisa difahami rakyat. Rakyat mudah terpancing emosi dan perasaan ketertindasan yang meluap tanpa memiliki landasan kesadaran politik yang benar.

Ormas (Organisasi Masyarakat)

Aisyiyah dan fatayat merupakan dua diantara ormas-ormas wanita yang ada di Indonesia.

Aisyiyah adalah organisasi otonom Persyarikatan Muhammadiyah yang bergerak dikalangan wanita. Didirikan di Yogyakarta tanggal 22 April 1917 M. Tujuan organisasi adalah terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah SWT dengan jalan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Untuk mencapai tujuan itu organisasi mempunyai usaha-usaha antara lain : meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut ajaran agama Islam, membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi, juga membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Ermalena M, Hs, ketua 1 Fatayat NU mengemukakan bahwa kegiatan yang dilakukan fatayat merupakan kebijakan nasional yang pertama-tama diputuskan melalui konggres. Dalam Rapat Kerja Konggres, yang dihadiri 24 wilayah disepakati 12 item yang terbagi dalam 4 kelompok, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan dan organisasi sebagai misi yang harus diperjuangkan Fatayat.

Bila kita memperhatikan aktivitas kedua ormas ini, dari segi tujuan mereka memiliki skala nasional. Namun dari segi operasional, gaungnya belum terdengar.

Pendapat

Menanggapi peran wanita dalam politik, Roekmini Soedjono, Pengamat Politik dan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa peran wanita Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibanding negara lain. Tapi wanita Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak wanita yang berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Ironinya para wanita tidak menyadari hal demikian. Dalam mengisi kemerdekaan, wanita terlihat belum bisa memberi warna. Merekapun, kecuali para aktivis muda, cenderung menghindari "wilayah rawan". Hadir semacam kegamangan diantara wanita yang sidah mempunyai posisi tertentu untuk mendobrak status quo bidang politik.

Wilayah-wilayah politik yang memang penuh resiko, tampaknya amat diperhitungkan. Kita mengharapkan wanita yang duduk di DPR lebih nyaring bersuara, tetapi kebanyakannya sangat jarang terdengar. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Faisal Siagian (Republika 15/9/95) bahwa jumlah anggota MPR/DPR wanita itu sangat sedikit yang vokal dan cukup menonjol seperti Megawati Soekarnoputri dan Fatimah Achmad dari PDI, Aisyah Amini dari PPP atau Mien Sugandhi dari Golkar.

Sementara wanita yang tidak masuk dalam organisasi atau lebih bebas seperti LSM dalam konstelasi politik Indonesia masih belum terdengar gaungnya.

Wanita selama ini justru mementingkan masalah peranannya. Sehingga menjadi kurang mampu melihat wawasan lebih luas, padahal banyak hal yang sebenarnya harus segera ditangani. Masalah mendasar seperti feodalisme, korupsi, kolusi, monopoli, kemunafikan, budaya politik dan lain-lain malah tidak dijangkau.

Budaya politik sekarang diwarnai oleh feodalisme dan wanita terjebak di dalamnya. Semua orang, termasuk banyak wanita tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat karena harus menyesuaikan dengan budaya politik yang berlaku.

Selanjutnya Roekmini mengutip pernyataan Wahono bahwa kita sudah terjebak pada kemunafikan. Untuk memapankan diri, semua orang yang tidak ingin terganggu atau takut dengan resiko terpaksa menyesuaikan dengan kemunafikan. Ini bukan lagi persoalan sopan santun, tetapi kemunafikan yang bertentangan dengan hati nurani.

Yang Harus Didahulukan

Roekmini Soejono melihat bahwa kecenderungan wanita-wanita yang terjun dalam bidang politik belum sepenuhnya memberikan akses untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita. Hal ini disebabkan karena para wanita terjebak dengan budaya politik yang berlaku disamping hanya mementingkan masalah peranannya.

Mencermati pendapat Roekmini, mungkin kita perlu bertanya apakah untuk meningkatkan pemberdayaan politik wanita kita perlu menduduki posisi tertentu, sehingga kita harus merasa terjebak dengan budaya politik yang ada?

Pemberdayaan politik kalau kita fikirkan ternyata tidak harus ditempuh dengan menduduki posisi tertentu (dalam kekuasaan). Beliaupun sebagai pengamat politik bisa bersuara lantang mengkritik peran politik wanita sekarang. Dengan demikian sebenarnya pemberdayaan politik bisa dilakukan oleh siapapun dengan kedudukan apapun.

Setiap orang yang ingin dirinya maju (apalagi menginginkan bangsanya maju) harus memiliki kesadaran politik. Dengan demikian ia akan menyadari apa yang harus diperbuat dan apa yang harus diberlakukan untuk dirinya dan bangsanya.

Seperti pendapat Roekmini juga kita tidak harus berfikir untuk satu bidang saja seperti adanya bidang wanita untuk wanita. Namun sudah seharusnya kita mampu berfikir dalam segala bidang. Karena suatu sistem itu tidak hanya terdiri dari satu bidang, tetapi banyak bidang yang saling terkait satu sama lain. Sehingga mengkhususkan diri hanya dalam satu bidang, sama saja dengan menanam kegagalan.

Untuk itu dimanapun kita berkiprah, di situ pula kita harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara integral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang ada kalau kita tidak terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan catatan, para wanita punya visi tertentu yang melatarbelakangi terlibatnya mereka dalam aktifitas politik.

DAFTAR PUSTAKA

    Mely G. Tan. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan? 1991 Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
    Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri. ‘Bendera Sudah Saya Kibarkan’. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
    B.N. Marbun, SH. Kamus Politik. 1996. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
    Prisma No. 5. 1996
    leaflet APIK.
    Talk Show. Trijaya FM.
    Republika. 15 September 1995, 20 Desember 1996, 30 September 11996, 27 Juni 1996, 24 Mei 1996.
    Media Indonesia, 30 Maret 1996.
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Gambaran Aktifitas Wanita "Masa Kini" Dalam Politik (1)

Gambaran Aktifitas Wanita "Masa Kini" Dalam Politik (1)
Oleh : Alfii Majidah

Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dsb. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.

Era Orde Baru telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti para wanita, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya.

Namun kesimpulan yang diambil delegasi 27 negara yang hadir dalam sebuah konferensi perempuan tahun 1994 lalu menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun kebidang politik, masih rendah. Hal ini disebabkan perempuan Asia pada umunya masih terbelenggu masalah klasik yakni adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan. Konferensi yang dihadiri para perempuan politisi dan akademisi serta organisasi swadaya itu bertujuan mencari solusi bagaimana caranya meningkatkan peranan perempuan dalam bidang politik, bidang yang secara tradisional dikuasaii kaum laki-laki.

Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita dari Bangladesh, Rounaq Johan mengatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10% saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang beroleh jabatan anggota kabinet (menteri) hanya 4%. Di Asia, tercatat hanya 5 perempuan yang (pernah) berhasil merebut posisi kepala negara, yakni Indira Gandhi di India, Sirimaaro Bandaranaike di Srilangka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaleda Zia di Banglades dan Corazon Aquino di Filipins.

Drs. Arbi Sanit dalam seminar "Peranan Wanita dalam Pesta Demokrasi 1997" yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan Harian Republika menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini mengungkapkan data perkembangan jumlah wanita dalam parlemen. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982.

Terlepas dari suara-suara yang menyimpulkan bahwa jumlah wanita yang berkecimpung dalam politik masih terlalu sedikit, perlu kita cermati apa sebenarnya peran yang mereka mainkan.

Parlemen

Litbang Republika telah mengadakan penelitian tentang aspirasi wanita anggota perlemen Indonesia pusat dan 5 DPRD (yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara) terhadap pemberdayaan politik wanita. Hasilnya, mereka terdorong akan kenyataan bahwa keterwakilan wanita dalam badan Legislatif masih jauh dari memadai. Yaitu tak lebih dari 12% saja, padahal populasi wanita berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia.

Kedudukan mereka dalam badan legislatif tersebut dianggap mempunyai akses politik terhadap pembuat kebijakan dan diharapkan pemberdayaan wanita Indonesia dapat dilakukan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota parlemen kurang bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan misi yang harus mereka emban. Bahkan 36,3% dari mereka tidak tahu Konvensi PBB tentang wanita dan 41,3% tidak tahu bahwa pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasinya.

Kabinet

Dalam susunan kabinet periode 1992-1997 telah terdapat 2 menteri wanita yaitu Ny. Mien Sugandhi sebagai Meneg Urusan Peranan Wanita (UPW) dan Ny. Inten Suweno sebagai Menteri Sosial. Sistem politik yang tidak mempresentasikan populasi wanita dengan baik merupakan sesuatu yang dikeluhkan menteri UPW belakangan ini. Contoh konkrit yang dikeluhkannya adalah ketiadaan gubernur wanita, padahal wanita merupakan pemilih mayoritas dalam pemilu. Data tahun 1993 mengenai posisi (politik) strategis di indonesia menunjukkan bahwa jumlah masih minoritas. Misalnya Dari 22 duta besar, Wanita hanya 1,6 % dan dari 15.332 pejabat eselon I dan II departemen, wanitanya hanya 5,5 %.

Penelitian Republika menunjukkan bahwa kurang terwakilinya wanita dalam posisi politik disebabkan faktor kultural maupun struktural. Fakta kultural misalnya ada mitos bahwa politik adalah dunia pria, serta kurangnya kepercayaan diri wanita berkompetisi dengan pria dalam dunia politik.

Sedangkan faktor struktural adalah adanya sejumlah aturan main yang mendiskriminasikan wanita. Sebanyak 15 orang responden (14,4%) menyatakan bahwa aktifitas wanita dalam politik terkendala oleh kurangnya dukungan pemerintah. Dengan demikian apakah Kantor Meneg UPW kurang efektif menjalankan fungsinya ?

Sejumlah analisa muncul menyangkut masalah ini. Efektifita kantor Meneg UPW sebagai sebuah kementrian non departemen tidak memiliki birokrasi yang bekerja efektif di tingkat lokal. Lalu anggaran untuk kementrian inipun tidak teralokasikan secara khusus sebagaimana alokasi anggaran untuk sebuah departemen. Akan tetapi ‘terserak’ secara sektoral.

Untuk itu ada 44 orang wanita anggota parlemen (42,3%) menurut penelitian Republika yang menginginkan UPW jadi departemen. Alasan mereka adalah untuk meluaskan kesempatan bagi wanita yang berpotensi di tiap propinsi atau daerah untuk berkiprah secara langsung dalam agenda wanita. Juga agar persoalan kurangnya anggaran untuk proyek pemberdayaan wanita bisa teratasi. Dan segala program peningkatan peranan wanita bisa leluasa dirancang.

Namun aspirasi mereka ini ditentang oleh 60 orang responden (57,7%). Alasan mereka dengan mendepartemenkan UPW berarti adalah (1) karena banyak urusan sudah ditangani oleh departemen lain secara terpisah; (2) non departemen sudah cukup karena tuntutannya memang hanya memberikan arah kebijakan saja; (3) bukan prioritas untuk mengatasi diskriminasi terhadap wanita.

Kebanyakan wanita anggota parlemen memang menyadari bahwa mendepartemenkan UPW tidak otomatis menyelesaikan sejumlah agenda pemberdayaan politik wanita. Seorang nggota FPDI DPRD DKI jakarta bahkan mengusulkan agar Kementrian Negara UPW dihapus saja. Menurutnya kementrian itu tidak berguna, karena tidak pernah menyelesaikan permasalahan. Usulan radikal tersebut muncul ketika melihat kemungkinan efektifitas dan skala perhatian atas persoalan keterpurukan politik perempuan.

Di balik itu semua penelitian menemukan seorang anggota FKP yang justru mengira Kantor Meneg UPW selama ini telah menjadi departemen.

Partai Politik

Partai politik merupakan salah satu wadah dimana wanita bisa berkiprah dalam bidang politik atau dengan kata lain untuk meningkatkan pemberdayaan politik perempuan.

Partai politik di Indonesia juga merupakan jenjang untuk seseorang menjadi anggota parlemen. Dari 500 orang anggota DPR 50 orang adalah wanita; FPP terdapat 4 orang wanita dari 60 orang anggota, FKP ada 12 orang wanita sedangkan FPDI terdapat 6 orang dari 56 anggota.

Aisyah Amini, ketua komisi I DPR-RI dan merupakan Anggota DPR dari FPP menyatakan bahwa kegiatan politik adalah untuk mendukung dan memperjuangkan idealisme, bukan untuk mencari penghidupan. Politik adalah suatu bidang pengabdian untuk memperjuangkan cita-cita. Persaingan dalam dunia politik amat keras, tetapi mempunyai kenikmatan tersendiri karena bisa menyentuh banyak orang. Beliau juga mengatakan bahwa dalam PPP berpolitik itu adalah ibadah. PPP pun tidak membatasi seorang wanita untuk menjadi anggota, pengurus, sekretaris atau ketua. Namun budaya masyarakat yang masih menganggap pria lebih pantas berada dalam posisi top harus diperhatikan.

Adapun pandangan beliau tentang keseganan orang memasuki partai politik adalah karena orang yang masuk partai akan mengalami banyak kesulitan.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat Ketua Umum DPP PDI mempunyai obsesi berjuang untuk membuat wong cilik dapat tersenyum. Senyum bahagia. Dengan demikian perbaikan kepentingan rakyat banyak harus diperjuangkan. Menurutnya kepentingan rakyat banyak dalam totalitasnya mencakup kesejahteraan, memelihara dan menjaga hak asasinya dan kehidupan dalam demokrasi, memerangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran merupakan upaya nyata (?) untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Memperjuangkan perbaikan nasib dari para petani, buruh dan nelayan dan kaum berekonomi lemah lainnya merupakan bukti nyata dari kepekaan atas kepentingan rakyat banyak.


Sumber: http://www.angelfire.com/md/alihsas/aktivitas.html

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Peran Wanita Dalam Politik Indonesia

Peran Wanita dalam Politik Indonesia

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani politika - yang berhubungan dengan Negara dengan akar katanya polites ( warga Negara ) dan polis ( negara kota ).

Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi ( kebijakan ). Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Politik ).

Secara praktisnya, kita seringkali memahami politik sebagai kekuasaan, bagaimana kita mendapatkan suatu kekusaan ( melalui cara konstitusional ataupun inkonstitusional ), dan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan yang telah didapatkan.

Politik juga bisa kita pahami sebagai cara untuk menjalankan suatu kekuasaan di dalam sebuah organisasi, baik dalam bentuk Negara maupun organisasi kecil yang hanya berbasis dalam suatu masyarakat. Kaitannya dengan menjalankan kekuasaan itu maka akan juga bersinggungan dengan bagaimana cara membagi kekuasaan yang ada sehingga tidak terjadi sebuah tindakan yang sewenang-wenang atau kekuasaan yang bersifat absolut yang cenderung akan selalu disalahgunakan ( power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely – Lord Acton ).

Sehingga rumusan politik yang paling mudah untuk dipahami adalah berkenaan urusan menjalankan kekuasaan dalam suatu Negara dalam kaitannya untuk membentuk kebijakan yang diharapkan akan mampu untuk mewujudkan suatu keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masayarakat.

Politik yang kita pahami sebagai usaha untuk menjalankan suatu kekuasaan maka diperlukan suatu sistem untuk menjalankannya, karena bagaimanapun juga politik itu tidak akan pernah mampu untuk berdiri sendiri dan akan selalu bersentuhan dengan unsur lainnya dalam kehidupan ini.

Sistem politik menurut Drs. Sukarno adalah sekumpulan pendapat, prinsip yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.

Definisi lain yang dikemukakan oleh Rusadi Kartaprawira adalah sistem politik yaitu mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukan suatu proses yang langsung memandang dimensi waktu ( melampaui masa kini dan masa yang akan datang ).

Berdasarkan kedua pengertian itu, sistem politik merupakan seperangkat unsur atau komponen dalam Negara yang menjalankan suatu kekuasaan untuk menjalankan Negara serta roda pemerintahan yang ada di Negara tersebut dalam kaitannya untuk membuat sebuah kebijakan atau ketentuan demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat.

Sistem politik di Indonesia atau sistem politik Indonesia dapat kita artikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya ( http://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pengertian-sistem-politik-indonesia/ ).

Politik yang telah kita pahami sebagai sebuah kekuasaan maka yang menjalankan kegiatan dalam Negara Indonesia, berkaitan dengan kepentingan umum, spesifik lagi, dalam proses penentuan tujuan serta pengambilan keputusan maka tidak akan lepas dari lembaga-lembaga yang ada dan dibentuk di Negara ini.

Sebelum kita membahas apa saja lembaga yang dimaksud di dalamnya, kita harus terlebih dahulu memahami bahwa dalam politik secara sangat sederhanya ada yang disebut dengan suprastruktur dan infrastruktur politik ( ada beberapa ahli yang membedakannya ke dalam tiga unsur ).

 Suprastruktur politik berarti pranata atau lembaga politik yang ada di tingkat supra atau atas atau yang dibentuk sesuai dengan konstitusi yang berlaku di Negara tersebut. Sedangkan infrastruktur politik adalah pranata politik yang ada di tingkat masyarakat atau di luar lembaga-lembaga yang telah dibentuk oleh amanat konstitusi seperti kelompok kepentingan, kelompok penekan, media massa, dsb.

Kembali pada pembahasan awal kita yaitu apa lembaga politik yang telah dibentuk oleh konstitusi, yang dalam hal ini adalah UUD 1945, adalah MPR, Presiden, Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.

Di dalam UUD 1945, tentunya yang telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali, konstitusi secara tersirat menganut trias-politica yang masyur dikemukakan oleh Montesquieu. Walaupun memang tidak menganutnya secara utuh.

Karena di dalam UUD 1945 telah sangat jelas diatur kekuasaan itu dibagi menjadi kekuasaan eksekutif ( menjalankan UU ) yang dijalankan oleh Presiden beserta jajarannya ( Menteri ), kekuasaan legislatif ( membuat UU ) dijalankan oleh DPR, DPD, dan juga Presiden, serta kekuasaan yudikatif ( mengawasi ) dijalankan oleh MA dan MK. Sehingga sekali lagi, secara tersirat dan walaupun tidak mengadopsi secara utuh, Indonesia memang menganut sistem politik trias-politica.

Atas dasar ini, maka pembicaraan politik dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia berarti hanya berkisar pada Presiden beserta jajarannya, DPR, DPD, MA, dan MK dalam konteks suprastruktur politik atau yang berkaitan langsung dengan pembuatan kebijakan.

Hal ini menjadi penting untuk terlebih dahulu penulis kemukakan karena penulis tertarik membahas berkenaan dengan peran wanita dalam dunia politik yang ada di Indonesia.

Penulis tertarik membahas ini karena penulis melihat sebuah fenomena yang ada dalam kehidupan sehari-hari, yang sepertinya wanita itu berada dalam posisi “teraniaya” atau “terdiskriminasi” atau setidaknya itu adalah klaim dari beberapa wanita, terutama yang terlibat aktif dalam sebuah kelompok kepentingan.

Itu semua kemudian akan semakin hangat untuk diperbicangkan, khususnya dalam momen diperingatinya Hari Kelahiran R.A. Kartini, pahlawan nasional yang khusus mendedikasikan perjuangan dalam hidupnya untuk melawan penindasan terhadap kaum wanita atau bahasa yang lebih jauh populernya adalah memperjuangkan apa yang kita sebut dengan emansipasi wanita.

Apa itu wanita? Wanita ( wa.ni.ta [n] ) adalah perempuan dewasa : kaum -- , kaum putri (dewasa) ( http://kamusbahasaindonesia.org/wanita ).

Sebelum penulis melanjutkan kepada pokok permasalahan utama yaitu mengkaji peran wanita dalam dunia politik Indonesia, penulis akan terlebih dahulu mengemukakan latar belakang dari pemilihan tema atau pokok masalah yang kini sedang penulis bahas. Seperti yang juga telah penulis sebutkan di awal, wanita akan mendadak menjadi sebuah tema yang menarik untuk diperbincangkan ketika kita memasuki bulan April setiap tahunnya. Hal itu terjadi karena pada bulan April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, pejuang atau pahlawan nasional yang dianggap sebagai wanita yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita.

Akan tetapi ada satu catatan menarik akan hal ini. Di dalam referensi lain yang penulis baca ( http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/emansipasi-wanita.htm#.UVf2WjeTPLY ), ada sebuah sejarah yang sepertinya terlupa atau bahkan sengaja untuk dilupakan, yaitu bahwa delapan abad sebelum Kartini lahir, di Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada 4 (empat) perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31 Sultan yang ada.

Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).

Fakta sejarah yang ada menyebutkan bahwa di zaman kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh, sudah banyak kaum wanita yang ikut berjuang bersama-sama dengan suaminya untuk melawan penjajah dan juga sekaligus memperjuangkan segala bentuk penindasan terhadap kaumnya.

Mereka adalah Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis; Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid; Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran; Lalu kita kenal ada Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kapel Belanda; Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906; Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904; Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.

Fakta-fakta sejarah itu jelas merupakan sebuah bukti bahwa sebenarnya wanita telah jauh-jauh hari memperjuangkan nasibnya bahkan lebih dari itu mereka berjuang melawan penindasan melawan penjajahan, penindasan yang tidak hanya terjadi pada kaum wanita tapi juga menyeluruh kepada seluruh rakyat yang ada pada saat itu.

Fakta yang penulis kemukakan bukan lantas bermaksud untuk menimbulkan sebuah polemik atau kontroversi tapi penulis hanya ingin menunjukan bahwa masih ada perlakukan yang kurang adil dalam menanggapi segala peristiwa sejarah yang sebenarnya masih dalam kerangka atau satu rangkaian dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi entah kenapa, entah ada faktor apa, segala sesuatu itu atau beberapa fakta sejarah itu terkesan untuk ditutupi atau diceritakan/disajikan dalam bentuk dan redaksi yang telah sedemikian rupa dirubah sehingga akhirnya substansi peristiwa sejarah pun berubah dan menimbulkan sebuah penafsiran yang berbeda.

Kaitannya dengan tema yang sedang penulis bahas di sini adalah dengan hanya berpatokan emansipasi itu dimulai ketika perjuangan seorang Kartini maka kesan yang timbul kemudian adalah wanita itu memang terjajah dan juga teraniaya, tak bisa untuk berbuat apa-apa.

Padahal seperti fakta searah yang telah penulis sebutkan di atas, hal itu tidak terjadi sepenuhnya karena jauh sebelum ada seorang Kartini, wanita telah juga mempunyai hak yang sama untuk berjuang dan bisa berbuat dengan leluasa. Besar kemungkinan hal yang dialami oleh Kartini hanya terjadi pada daerah tertentu ( Jawa ), lalu karena terus dibesarkan maka dianggap wanita itu memang secara keseluruhan mengalami diskriminasi sehingga harus mempunyai atau mendapatkan perlakuan yang sama selayaknya pria.

Hal ini tidak jauh berbeda juga dengan fakta sejarah yang menyebutkan Gajah Mada sebagai pahlawan pemersatu Nusantara, padahal bagi orang-orang Swarnadwipa, Borneo, Celebes, Bali, dan lainnya, Gajah Mada tidak lebih sebagai seorang agresor dan penjajah ( http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/emansipasi-wanita.htm#.UVf2WjeTPLY ).

Sekarang mari kita lihat kondisi dewasa ini, dalam dunia politik serta posisi wanita dalam politik, gencar kita dengar pernyataan bahwa harus ada persamaan gender antara wanita dan pria.

Hal ini di dasari dengan argumen yang menyatakan bahwa masih terdapat banyak diskriminasi terhadap wanita sehingga wanita tidak mempunyai kesempatan untuk menunjukan kapasitasnya atau berpartisipasi secara lebih leluasa dalam mengambil suatu kebijakan sehingga banyak kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada wanita bahkan cenderung untuk melemahkan posisi wanita.

Di dalam UUD 1945 telah diatur secara jelas bahwa Negara kita mengakui HAM bahkan dalam Pasal 28C ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Lalu pada pasal 28D ayat (3) setiap wargaa Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Di sini terlihat jelas bahwa tidak ada diskriminasi bagi wanita maupun pria, semua sama dalam konstitusi Negara kita. Bahkan lebih jauh lagi, sejauh yang penulis tau ( koreksi jika penulis salah ) tak ada satu pun aturan perundang-undangan dalam kaitannya hak politik warga Negara Indonesia yang menyatakan bahwa harus mendahulukan/memprioritaskan kaum pria daripada kaum wanita.

Sehingga kemudian penulis menyangsikan klaim diskriminasi itu sendiri. Diskriminasi itu apa? Diskriminasi ( dis.kri.mi.na.si [n] ) adalah pembedaan perlakuan thd sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb) (http://kamusbahasaindonesia.org/diskriminasi).

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa diskriminasi itu terjadi ketika wanita tidak mempunyai akses yang sama terhadap suatu sumber daya sehingga mereka menjadi tidak berdaya tapi sejauh yang penulis tau tak ada aturan positif di Indonesia yang menyatakan hal itu. Sehingga kesimpulan yang penulis bisa sampaikan adalah wanita dan pria itu sama-sama memiliki akses yang sama terhadap segala sumber daya yang ada di Negara ini.

Pertanyaan selanjutnya yang pasti akan muncul adalah, lantas kenapa apabila tidak ada diskriminasi kemudian jumlah wanita yang ada di lembaga politik itu sedikit dan tak signifikan? Padahal jumlah wanita itu banyak.

Maka hal itu tak lepas dari masih banyaknya orang yang mempercayakan suatu profesi, jabatan serta pekerjaan pada suatu kaum sesuai dengan kodrat yang dimiliki kaum tersebut.

Apa itu kodrat? Kodrat ( kod.rat [n] ) adalah (1) kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang -- atas dirinya sbg makhluk hidup; (2) hukum (alam): benih itu tumbuh menurut -- nya; (3) sifat asli; sifat bawaan: kita harus bersikap dan bertindak sesuai dng -- kita masing-masing (http://kamusbahasaindonesia.org/kodrat).

Lalu apakah kita melakukan diskriminasi bila kita berbuat sesuai kodrat? Penulis berpendapat justru merupakan sebuah diskriminasi ketika bertindak menyalahi kodrat yang kita miliki.

Wanita setidak-tidaknya memiliki dua peran seperti yang disebutkan oleh Suwondo ( 1981 : 266 ). Dua peran itu yaitu :

    Sebagai warga Negara dalam hubungannya dengan hak-hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern;
     Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern.

Akan tetapi dari kedua fungsi ini jelas wanita harus mengutamakan fungssi intern mereka daripada fungsi ekstern. Hal ini juga diebutkan oleh Gurniawan K. Pasya dalam jurnal yang berjudul Peranan Wanita dalam kepemimpinan dan Politik, beliau menyebutkan : “…Karena itu tugas wanita yang utama dari banyaknya tugas-tugas lain adalah membina keluarga bahagia sejahtera.”

Sebenarnya semua itu juga telah sedari dulu disebutkan, seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw. : “Dan wanita adalah penanggung jawab di dalam rumah suaminya ia akan di minta pertanggung jawabannya atas tugasnya.”

Mencari nafkah bukan merupakan tugas utama bagi seorang wanita, "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (baik)". (QS. Al-Baqarah: 233).

Dengan segala kodrat yang dimilikinya, yaitu mengalami haidh, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, mengasuh anak,sepertinya memang tugas dalam dunia politik lebih pantas untuk disematkan pada kaum pria.

Apabila lantas kemudian wanita tetap memilih untuk terjun dalam dunia politik ataupun menjadi wanita karier hal itu sebenarnya tidak menjadi suatu permasalahan walaupun pada praktiknya nanti akan menghadapi banyak masalah.

Noerhadi ( dalam Tan, 1991 :6 -7 ) mengemukakan bahwa : “bila semua wanita menjadi ibu rumah tangga, keberanian untuk berkarir tentu harus ditopang oleh kemampuan yang memadai, tetapi berkarier memerlukan pula tekad dan konsentrasi yang tadinya tidak dituntut pada wanita, jadi tidak dengan sendirinya menjadi modalnya. Pengembangan ambisi, keyakinan memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan dalam ilkim kehidupan dengan suatu etika atau moralitas tertentu yang sebenannya tidak dimiliki wanita.”

Peran wanita dalam dunia politik Indonesia memang akan menjadi sebuah warna tersendiri bahkan dengan segala sifat kewanitaannya hal itu akan semakin melengkapi perpolitikan Indonesia.

Wanita pun di-klaim akan lebih peka terhadap isu-isu yang seringkali dianggap kurang begitu diperhatikan oleh kaum pria, seperti isu-isu masalah KDRT, kekerasan terhadap anak, dsb. Hal itu sungguh tak dapat penulis pungkiri apalagi di alam demokrasi seperti ini, seperti juga yang dianut dan digunakan dalam sistem politik Indonesia.

Dari segi kualitas pun, kita tak bisa lagi untuk meragukan kemampuan seorang wanita, baik dalam dunia pendidikan, seni, teknologi, dan segala segi penunjang kehidupan lainnya. Terlebih dengan kuantitas wanita yang juga banyak, maka jelas itu merupakan sebuah kekuatan bagi Negara Indonesia.

Akan tetapi yang perlu untuk sama-sama kita pahami di sini adalah, secara konstitusi, tak ada perbedaan antara wanita dan pria, semua dipandang sama, bahkan dalam agama sekalipun tak ada sama sekali pembeda, karena satu hal yang membedakan antara wanita dan pria di mata Tuhan adalah tingkat ketaqwaan mereka. Hal itu pul yang berlaku dalam Negara ini.

Wanita dan pria dalam ranah politik memiliki posisi yang sama untuk memilih dan juga dipilih, apalagi dengan sistem demokrasi yang ada, maka rakyat yang menjadi penentu apakah wanita atau pria yang layak duduk di suatu lembaga politik.

Pada akhirnya kemampuan dan kepatutan yang akan menjadi penilaian utama. Maka apabila kemudian memang suatu jabatan, profesi, atau pekerjaan, banyak masyarakat, banyak orang, yang menilai jabatan, profesi, serta pekerjaan itu jauh lebih pantas dikerjakan oleh suatu kaum daripada kaum yang lainnya, apakah memang hal itu suatu yang diskriminatif?

Karena sekali lagi, kodrat itu tak akan pernah mampu untuk kita rubah. Itu hukum alam, karena bukankah memang segala sesuatu itu tercipta dengan tugas dan fungsinya masing-masing? Ada dan tercipta untuk saling melengkapi sehingga menghasilkan suatu keharmonisan? Bila lantas harus semuanya sama, bagaimana mungkin segalanya bisa bergerak seimbang?

Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan kepada seluruh kaum wanita untuk berhenti memposisikan diri dalam posisi yang lemah atau teraniaya, karena secara hukum positif tak ada yang berbeda antara wanita dan pria.

Tapi, mulai—lah untuk menempatkan diri sesuai dengan kodrat yang dimilikinya. Yakin, bahwa segala sesuatunya itu mempunyai manfaatnya tersendiri.

Gimana, wanita? bisa? :)
Selamat Hari Kartini, selamat kembali ke kodrat semestinya!

sumber: www.noorzandhislife.blogspot.com/2013/04/peran-wanita-dalam-politik-indonesia.html

Selasa, 16 Juli 2013

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Upaya - Upaya Mengatasi Kemiskinan Di Indonesia

UPAYA MENGATASI KEMISKINAN DI INDONESIA DENGAN MEMBANGUN HUBUNGAN KEPERCAYAAN ANTAR MASYARAKAT

A. Pendahuluan

Di masa sekarang ini, permasalahan kemiskinan telah menjadi masalah yang banyak menjadi perhatian dari berbagai elemen masyarakat. Seolah-olah permasalahan kemiskinan menjadi sebuah kebudayaan yang turun-temurun. Di negara Indonesia sendiri, permasalahan kemiskinan juga menjadi permasalahan yang cukup serius. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk menanggulangi kemiskinan. Diantaranya adalah dengan memberikan bantuan untuk untuk masyarakat miskin. Misalnya saja bantuan asuransi kesehatan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa yang miskin, bantuan langsung tunai, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan lain-lain. Segala upaya tersebut selalu diupayakan oleh pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan yang ada pada masyarakat. Akan tetapi, apa yang ada di dalam masyarakat seakan-akan kemiskinan masih selalu ada. Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal itu terus terjadi. Lalu bagaimana solusi untuk mengatasinya.

Kemiskinan yang terjadi di negara Indonesia bukanlah permasalahan baru. Namun demikian, permasalahan kemiskinan ini tidak juga usai dan bahkan bisa dikatakan semakin bertambah. Hal itu terjadi seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin tak terkendali. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan pada masyarakat Indonesia juga dianggap sebagai penyebab kemiskinan ini. untuk mengatasi hal ini, pemerintah berusaha membuat kebijakan untuk mengatasinya. Misalnya program KB untuk mengendalikan jumlah penduduk. Namun program tersebut juga kurang efektif karena rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia untuk mengenal program KB. Kondisi ini tentu akan memperparah permasalahan yang ada di Indonesia.

Permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia juga tak akan lepas dari permasalahan yang lainnya. Misalnya saja, dengan adanya kemiskinan bisa menimbulkan bencana kelaparan, kriminalitas, pengangguran, pesimisitas dalam masyarakat, serta perasaan-perasaan terbelakang. Kondisi ini tentu akan semakin buruk jika tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Kenyataannya dibalik masalah kemiskinan yang terjadi ini, banyak dari oknum pejabat yang juga masih korupsi uang rakyat. Kondisi ini tentu tak baik untuk masa depan bangsa Indonesia.



B. Tinjauan Teoritis

Permasalahan kemiskinan sebenarnya memang bisa ditinjau dari aspek internal dan eksternal individu. Faktor internal ini kaitannya dengan kondisi psikologis individu. Sedangkan pada aspek eksternal lebih menekankan pada aspek sosial atau struktural dalam masyarakat. Antara dunia psikologis individu dan dunia sosial individu tentu memiliki perbedaan. Dunia psikologi individu lebih berfokus kearah dunia internal yang berkaitan dengan kondisi psikologis. Sedangkan dalam dunia sosial individu, mereka lebih berfokus kepada faktor-faktor eksternal yang berada diluar individu yang memaksa individu itu untuk melakukan suatu hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Inilah fakta sosial (social fact) dalam konsep Emile Durkheim. Kondisi sosiologis seperti inilah yang kadang tidak disadari oleh seseorang. Bahkan kondisi inilah yang menyebabkan alienasi seperti yang dinyatakan oleh Marx bahwa ada suatu kondisi seseorang tidak dapat menikmati karyanya sendiri karena dirinya terikat oleh faktor eksternal.

Dalam perspektif sosiologis seperti yang ada dalam pemikiran Marx tentang kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat telah terbagi kedalam dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Antara kelas penguasa yang memiliki modal dan alat produksi dengan kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi dan modal. Yang mereka miliki hanyalah sebatas pada tenaga untuk melayani kapitalis. Dengan menggunakan perspektif Marx ini terlihat bahwa dengan terciptanya masyarakat kedalam dua kelas akan memunculkan kemiskinan. Mengapa hal demikian dapat terjadi, dengan merujuk pada pemikiran Marx tersebut memang pada kenyataannya kelas proletar atau si miskin hanya akan dijadikan sebagai objek eksploitasi oleh para kapitalis atau pemilik modal. Tenaga mereka diperas dan hasilnya akan terakumulasi untuk para kapitalis atau pemilik modal dan alat produksi.

Daya tawar bagi kelas sosial bawah atau orang miskin menjadi sangat rendah di dalam masyarakat. Mengapa demikian, karena si miskin tidak ada pilihan lagi untuk memilih selain bekerja untuk para kapitalis. Dan jika hal demikian terjadi, maka timbullah alienasi (keterasingan). Dimana kondisi seseorang menjadi terasing dengan dirinya, pekerjaannya serta lingkungan sosialnya. Seseorang bekerja bukan karena ingin mengaktualisasikan dirinya, akan tetapi mereka bekerja karena adanya faktor eksternal yang memaksanya untuk bekerja.

Merujuk pada pemikiran Robert Putnam, penulis melihat bila permasalahan kemiskinan ini sebenarnya dapat diatasi dengan mengembangkan modal sosial individu di dalam masyarakat. Karena hingga saat ini, upaya pemerintah dalam mengentaskan masalah kemiskinan kebanyakan hanya cenderung pada bagaimana memberikan sarana-sarana yang berupa modal maupun keterampilan kepada individu. Permasalahan kemiskinan ini sebenarnya juga bisa diatasi dengan mengembangkan modal sosial yang ada di dalam masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Robert Putnam bila kapital sosial sebenarnya memiliki ciri organisasi sosial, dimana sistem kepercayaan, norma, dan jaringan dapat memberikan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan koordinatif.



C. Analisis Kemiskinan

            Sebenarnya permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini memang tak lepas dari permasalahan sosial yang ada di dalam masyarakat. Kondisi struktur sosial yang vertikal akan membentuk masyarakat yang memiliki kelas-kelas sosial. Dimana di dalam kelas-kelas sosial tersebut terdapat masyarakat yang berada dalam kelas sosial atas, kelas sosial menengah, dan kelas sosial bawah. Masalah kemiskinan ini biasanya akan terjadi pada masyarakat yang berada didalam kelas sosial bawah. Kebanyakan masyarakat yang berada di dalam kelas sosial bawah tidak mendapatkan kehidupan yang beruntung. Karena posisi mereka kebanyakan berada dalam kelas yang tereksploitasi. Dalam aspek modal finansial saja, kaum miskin tidak dapat meminjam uang untuk modal kepada pihak lain. Permasalahannya sebenarnya sederhana, yaitu mereka tidak memiliki barang  jaminan yang cukup untuk bisa digunakan dalam peminjaman uang. Sedangkan pada kebanyakan lembaga peminjaman uang selalu harus disertai dengan jaminan.

Permasalahan terkait dengan adanya tidak adanya jaminan untuk meminjam uang pada lembaga peminjaman ini sebenarnya sudah dipahami oleh pemerintah. Sehingga pemerintah juga mengeluarkan kredit lunak untuk masyarakat miskin agar mereka bisa memiliki modal untuk menjalankan sebuah usaha. Namun demikian, permasalahan yang kemudian muncul adalah aspek pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat miskin. Karena kebanyakan masyarakat miskin masih memiliki pendidikan yang rendah. Sehingga dalam menggunakan uang pun mereka juga masih belum begitu mahir. Yang terjadi kemudian adalah bukan keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat miskin penerima kredit lunak dari pemerintah. Akan tetapi seringkali mereka menjadi merugi karena antara pemasukan dan pengeluaran uang yang tidak tertata dengan baik.

Kondisi yang terjadi tersebut kemudian memaksa pemerintah untuk turun tangan dengan menurunkan tim ahli pemberdayaan agar masyarakat miskin ini dapat diberikan pembimbingan dalam mengelola usahanya. Memang ketika pada saat dilakukan pembimbingan mereka paham dan dapat menjalankan usahanya dengan baik. Namun setelah pihak yang melakukan pembimbingan pergi meninggalkan mereka, belum tentu mereka kemudian menjadi bisa untuk mengelola usahanya sendiri.

Masalah kemiskinan ini juga akan semakin diperparah dengan hadirnya arus globalisasi dan pasar bebas. Globalisasi dan pasar bebas ini telah menuntut seseorang untuk mampu bersaing dengan orang lain. Namun kenyataanya, masyarakat miskin ini berada dalam strata masyarakat kelas bawah. Sehingga tidak mungkin mereka bisa bersaing dengan masyarakat yang berada dalam kelas diatasnya. Karena masyarakat yang berada dalam kelas atas memiliki banyak sumber daya yang bisa mereka gunakan untuk memperluas usaha mereka. Jika kita melihat pada ekonomi masyarakat kelas bawah, kehidupan ekonomi mereka masih sangat bergantung dengan sektor pasar tradisional. Namun yang terjadi saat ini, banyak pasar tradisional yang mulai sepei pembeli. Hal itu terjadi karena saat ini banyak didirikan pasar-pasar modern yang berjaringan. Pasar-pasar modern ini ternyata melakukan ekspansi hingga ke wilayah-wilayah pedesaan. Sehingga ekonomi masyarakat desa yang berasal dari pasar tradisional ini sedikit demi sedikit akan terkikis.

Permasalahan kemiskinan yang belum selesai ini ternyata juga diperparah dengan kondisi politik negara Indonesia yang kurang baik. Kondisi politik yang kurang baik ini ternyata menjadi sebuah ajang untuk pencitraan publik. Setiap kampanye partai politik, seolah-olah yang mereka dengungkan adalah pro terhadap rakyat kecil. Namun pada kenyataannya setelah mereka berhasil menduduki jabatan pemerintah, mereka seringkali melupakan janji-janji yang telah mereka buat sebelumnya. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat kecil. Lalu bagaimana mengatasi kondisi ini agar keminkinan yang ada di Indonesia dapat teratasi dengan baik. Disini penulis akan membahasnya dalam solusi mengatasi masalah kemiskinan dengan berbasis pada membangun hubungan kepercayaan antar masyarakat.



D. Mengatasi Kemiskinan Dengan Meningkatkan Hubungan Kepercayaan Antar Masyarakat

            Upaya mengatasi kemiskinan dengan basis membangun hubungan kepercayaan antara masyarakat ini sebenarnya berangkat dari ketertarikan penulis untuk menerapkan apa yang dikatakan oleh Robert Putnam tentang pentinganya menjalin hubungan kepercayaan antar individu di dalam masyarakat untuk memperoleh modal sosial yang kuat. Selama ini solusi yang ditawarkan dari pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan ini seirngkali tidak pernah menyinggung aspek modal sosial di dalam masyarakat. Jika kita telisik lebih dalam tentang kondisi masyarakat miskin ini, kebanyakan mereka memiliki modal sosial yang rendah. Hal itu dikarenakan hubungan yang mereka jalin biasanya masih berada di dalam lingkup yang sempit. Sehingga jaringan mereka pun menjadi sempit pula. Padahal aspek jaringan sosial ini juga sangat membantu manusia dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selama ini cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan hanya masih berkutat pada tataran bagaimana meningkatkan sumber daya individu.

Meningkatkan sumber daya individu memang penting dalam meningkatkan kualitas individu agar mampu bersaing di dalam era globalisasi dan pasar bebas ini. Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kondisi sosial kultural bangsa Indonsia ini kebanyakan berbasi pada hubungan emosional yang tinggi. hubungan emosional ini hanya akan tercipta jika basis hubungan kepercayaan di dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik. Namun realitas yang terjadi saat ini, modernisasi telah menjamur keseluruh aspek kehidupan manusia. Sehingga awalnya hubungan yang diciptakan manusia adalah hubungan kepercayaan, saat ini hubungan yang terjalin tinggallah hubungan transaksional semata. Orang yang memiliki uang hanya akan mau bekerjasama dengan orang yang memiliki uang pula. Jarang sekali ada orang kaya yang mau bekerjasama dengan orang miskin jika mereka tidak ada hubungan kepercayaan yang baik.

Kondisi masyarakat miskin yang berada di dalam posisi ini memang tidaklah mudah. Karena jalan yang harus mereka tempuh adalah jalan persaingan di era globalisasi dan pasar bebas ini. Dalam konteks ini penulis mencoba membangun analisis untuk mengatasi kemiskinan dengan membangun kembali hubungan kepercayaan antar masyarakat. Tentunya dalam menjalankan hal ini tidaklah mudah. Karena akan banyak tantangan yang harus dilalui. Dalam menjalankan hal ini yang perlu dilakukan adalah merekatkan kembali hubungan sosial antar masyarakat dari berbagai kelas sosial yang ada. Karena pada hakikatnya, budaya yang ada pada masyarakat Indonesia ini dibangun atas dasar hubungan kepercayaan yang tinggi. Seperti yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dahulu bahwa pada masa kerajaan. Hubungan yang dibangun antara raja dengan rakyatnya adalah hubungan saling percaya. Dimana raja dipercaya rakyat untuk melindungi mereka dan raja juga mepercayai rakyat bila rakyat juga akan mengabdi penuh kepada kerajaan. Hubungan inilah yang akhirnya terjalin dan membentuk masyarakat yang serasi. Dimana dalam hal ini hubungan mereka menjadi baik dan harmonis.



Lalu bagaimana mengatasi kemiskinan yang terjadi dalam konteks saat ini di Indonesia. Sebenarnya cara yang dapat dilakukan yang pertama adalah menghidupkan kembali kearifan lokal yang ada pada masyarakat Indonesia. karena kearifan lokal itulah sebenarnya yang menjaga nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu dijaga dengan berbasis pada jalinan hubungan yang saling percaya antar masyarakat. Seperti kebiasaan saling tolong-menolong, kerjasama, dan mempererat hubungan kepercayaan antar sesama. Kondisi itulah yang sebenarnya akan memperkaya modal sosial masyarakat. Jika modal sosial di dalam masyarakat yang berbasis pada hubungan kepercayaan ini dapat dicapai, maka yang terjadi adalah hubungan yang saling tolong-menolong antar masyarakat. Orang yang berada di dalam kelas atas akan mau berhubungan baik dengan orang yang berada di dalam kelas bawah. Karena hubungan kepercayaan ini sifatnya merekatkan jarak antara kelas atas dengan kalas bawah. Hubungan baik ini tentu akan menumbuhkan sikap untuk bekerjasama dengan berbasis pada hubungan kepercayaan. Jika hal ini dapat tercapai, bukan tidak mungkin lagi permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia ini dapat teratasi dengan baik.



E. Kesimpulan

            Sebenarnya permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia ini memang menjadi masalah yang begitu kompleks. Hal itu terjadi karena permasalahan kemiskinan ini selalu menimbulkan masalah baru seperti kriminalitas, anak terlantar, pengangguran, maupun munculnya pengemis di jalanan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini tampaknya tak juga menemui hasil yang baik. Basis yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan ini hanya sampai pada bagaimana meningkatkan sumber daya manusianya. Sedangkan yang telah kita ketahui bila permasalahan kemiskinan ini memang permasalahan yang sangat kompleks. Sehingga dalam mengatasi masalah ini tidaklah cukup bila hanya terhenti pada peningkatan sumber daya manusianya saja.

Selain meningkatkatkan sumber daya manusia agar kualitas manusia menjadi lebih baik. masih ada lagi cara yang harus ditempuh agar permasalahan kemiskinan ini bisa tertasi dengan baik. Cara tersebut adalah membangun kembali hubungan kepercayaan antar masyarakat. Hal itu menjadi sangat penting karena akar warisan budaya bangsa Indonesia adalah berbasis pada hubungan kepercayaan emosional antar individu yang tertuang di dalam nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Realitas yang terjadi saat ini, hubungan kepercayaan itu seakan hilang dan berubah menjadi hubungan yang transaksional yang hanya meperhitungkan untung dan rugi.

Dalam menumbuhkan kembali hubungan kepercayaan ini, diharapkan masyarakat yang awalnya hidup dengan penuh persaingan dapat berubah menjadi hidup yang saling bekerjasama. Hubungan kepercayaan diharapkan dapat memperbaiki jarak hubungan yang ada pada masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Jika di dalam setiap elemen masyarakat dapat bekerjasama dengan baik dalam basis hubungan kepercayaan yang baik. Baik itu hubungan atara kelas atas dengan kelas atas, kelas bawah dengan kelas atas, ataupun atara kelas yang satu dengan kelas lainnya dapat terjalin dengan baik. bukan tidak mungkin lagi permasalahan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat kelas bawah ini dapat teratasi dengan baik.
BACAAN:

Maarif, Syamsul. 2011. Bahan Ajar Sosiologi Kapital Sosial. Yogyakarta: Gress Publishing
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Oleh Tri Mahendra
sumber http://trimahendrasosiologi.wordpress.com
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Perempuan & Politik

WANITA DALAM POLITIK 



Perjuangan wanita dalam upaya kesetaraan gender sudah menunjukkan hasil. Di zaman social media ini, peran wanita semakin besar turut mewarnai perkembangan zaman ini. Ada sisi positif ada pula sisi negatif yang ditimbulkannya. Tak terkecuali, wanita pun sudah mulai merambah ranah politik. Ya kini semakin banyak wanita mulai berpolitik. Meskipun demikian apakah kualitas politisi wanita sudah setara atauhanya sekedar pelengkap saja di lembaga negara? Persoalan apa yang akan dihadapi oleh wanita ketika berjuang di ranah politik? Mari kita simak bersama tulisan berikut ini.

Sepatu wanita, tas wanita, dan segala aksesoris perlengkapan kecantikan lainnya menjadi hal yang harus ada dalam kehidupan wanita modern. Tapi semua itu tidak menjadikan mereka puas. Wanita juga ingin dihargai lebih dari sekedar pelengkap dalam kehidupan ini. Termasuk dalam kehidupan berpolitik. Wanita Indonesia khususnya semakin mendapat jalan lebih luas untuk berperan lebih aktif dalam kancah politik. Adanya peraturan yang mengatur porsi caleg wanita sebesar minimal 30% dari jumlah caleg memberi peluang lebih lebar kepada kaum wanita untuk menekuni dunia politik. Kepercayaan kepada politisi wanita semakin meningkat dengan semakin banyaknya wanita yang berprestasidalam dunia politik.

PERANAN WANITA DALAM POLITIK

Pada hakekatnya wanita memiliki dua peran ganda, yaitu
a. Wanita Sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dalam bidang sipil dan politik termasuk partisipasinya sebagai tenaga kerja. Ini disebut juga fungsi ekstern.
b. Wanita sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan dan membesarkan anak-anak dalam hubunga rumah tangga. Ini disebut juga fungsi intern

Peranan wanita cukup besar dalam turut menjaga budaya Indonesia.

KETERBATASAN WANITA DALAM POLITIK

Namun demikian wanita harus bekerja keras untuk meningkatkan kualitasnya baik dalam dunia kerja maupun dalam dunia politik. Ada beberapa keterbatasan yang dialami wanita yang perlu diatasi antara lain :
a. Hambatan Kultural

Persepsi masyarakat masih menganggap wanita sebagai pelengkap kaum lelaki dan bukan sebagai mitra yang sejajar dalam menghadapi persoalan

b. Hambatan Sosial
Paradigma sosial yang menganggap wanita sebagai kaum no 2 setelah laki-laki dengan bargaining yang lemah

c. Hambatan Ekonomi
Pada umumnya wanita masih secara ekonomi bergantung pada laki-laki baik suami ataupun orangtua

d. Hambatan Politik
Keterbatasan pendidikan bagi wanita mengganggu profesionalisme wanita dalam berkarir dan termasuk terjun ke dunia politik. Kekurang efektifan yang terjadi ketika wanita telah duduk sebagai anggota dewan misalnya semakin mengucilkan peran wanita.

Dibalik hambatan-hambatan tersebut ternyata wanita memiliki peluang yang lebih besar untuk duduk dalam kursi politik Terlihat dari hasil penjaringan caleg wanita ternyata masih banyak yang belum terisi. Masih banyak partai peserta pemilu yang kewalahan mencari kader parpol wanita untuk menjadi caleg. Tentu ini merupakan peluang bagi kaum hawa untuk menekuni dunia politik dan meningkatkan profesionalisme dalam berkarya.

Wanita yang berpolitik harusnya lebih siap dari segi pendidikan politik dan komunikasi yang efektif kepada masyarakat. Hal ini tentu perlu dibangun sedini mungkin untuk menjadikan wanita lebih profesional dan bisa memainkan peranan yang lebih besar dalam dunia politik.

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia

Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia 

Pendahuluan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengenang jasa para pahlawannya, selain itu juga sangat melindungi dan melestarikan budayanya, termasuk adat-istiadat bangsanya. Hal ini merupakan modal berharga bagi upaya pemantapan ketahanan mental spiritual dalam menghadapi pengaruh negatif yang dibawa oleh arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Apabila tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan bisa menimbulkan erosi terhadap budaya bangsa kita.

Pada tahun 2008 ini kita melakukan refleksi perjalanan sejarah bangsa sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sampai saat ini. Perempuan merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu membicarakan tentang kebangkitan Nasional, kita tidak boleh melupakan pula kebangkitan perempuan Indonesia sebagai bagian dari kebangkitan nasional.

Setelah 100 tahun semangat kebangkitan nasional dikumandangkan dan menjelang 63 tahun Indonesia merdeka, kita masih harus mengejar pencapaian cita-cita para pendiri bangsa sebagai tujuan Pembangunan Nasional, yakni masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera secara merata. Kita masih harus meningkatkan lagi mutu pendidikan, kesehatan masyarakat dan tingkat ekonomi serta menghadapi berbagai tantangan baru dalam kehidupan kita.

Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.

Kebangkitan Perempuan Indonesia

Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi.

Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.

Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda bumiputera kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.

Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.

Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A. Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada jaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah jajahan.

Namun sayang, selama ini ada bias gender dalam penulisan sejarah tentang perjuangan R.A. Kartini. Sebagai sosok perempuan cerdas dengan cara pandang yang sangat hebat pada saat itu, penulisan sejarah tentang beliau lebih banyak menonjolkan sisi keperempuanan R.A. Kartini dibandingkan dengan sisi intelektualnya. Penggambaran tokoh perempuan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat, yaitu menempatkan perempuan dalam konteks keterbatasan yang dianggap telah sesuai dengan "kodratnya" sebagai seorang perempuan, beliau bukan dianggap sebagai salah satu perintis nasionalisme etnis di Nusantara (Jawa), yang berdampak pada era pra-kemerdekaan Indonesia (lihat: Arbaningsih, 2005: 6).

Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Pemula. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Mungkin saja bahwa gagasan dari R.A. Kartini ini turut menginspirasi Dr. Soetomo untuk membentuk pergerakan kebangsaan yang berbentuk Kebangkitan Nasional.

Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan berdirinya Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Perjuangan saat itu bukan untuk pembebasan Indonesia, karena gagasan pembebasan Indonesia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi masih untuk pembebasan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda mulai terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Meskipun awalnya hanya sebatas membantu suami atau saudara laki-lakinya, tetapi kemudian para perempuan ini sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia bersama Teuku Umar, Martha Christina Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Walter Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Suropati. Pada era selanjutnya, muncul Maria Walanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Pada perjuangan mereka saat itu adalah untuk memajukan kaum perempuan sehingga terdidik dan terpelajar, sehingga mampu mandiri.

Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya.

Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan kebangkitan bangsa. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Karena itu, setelah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama kali diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan. Kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan sebagai upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada. Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Setahun kemudian PPI diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A).2

Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.

Organisasi "Isteri Sedar" yang didirikan di Bandung pada tahun 1930, selain berjuang untuk kemerdekaan Indonesia juga memperjuangkan penghargaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki agar sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum perempuan. Isteri Sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.

Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang tidak beazaskan agama bergabung menjadi satu dengan nama "Isteri Indonesia" yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan dasar demokrasi. Organisasi baru ini giat berusaha agar perempuan bisa duduk dalam dewan-dewan kota. Selain itu juga memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu pengaturannya banyak merugikan kaum perempuan.

Pada kongresnya yang kedua, ketiga dan keempat (1935, 1938, dan 1941), PPPI membicarakan berbagai isu sekitar kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.

Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, mulai muncul juga organisasi yang anggotanya terdiri dari para perempuan yang bekerja di luar rumah. Demikianlah pada tahun 1940 untuk pertama kalinya dibentuk di Jakarta, sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia, yang beranggotakan para perempuan yang bekerja di kantor, baik pemerintah ataupun swasta, sebagai guru, perawat, pegawai kantor, dan sebagainya. Namun, dilihat dari kegiatannya, organisasi organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka ditekankan pada pendidikan keterampilan keperempuanan dan pemupukan kesadaran kebangsaan, sehingga tidak berbeda jauh dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan lainnya.

Pada jaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.

Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ketuhanan, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan.

Setelah tahun 1950, organisasi perempuan berkembang seiring dengan berkembangnya partai-partai di Indonesia. Banyak organisasi perempuan yang menjadi bagian perempuan dari suatu partai, seperti Wanita Marhaenis, Gerakan Wanita Sosial, Gerwani, dan lain-lain.

Ada pula partai yang bergerak dan merupakan bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aisyiah, Wanita Katolik, selain itu juga organisasi perempuan yang berdiri sendiri tanpa ikatan dengan partai lain, seperti Perwari, dan banyak lagi organisasi perempuan yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Pada tahun 1952, lahir organisasi yang menghimpun para isteri Kementerian Dalam Negeri yang sifatnya nonpolitik, namun tetap mengikuti perkembangan jaman. Selain dari isteri pegawai Departemen Dalam Negeri, masing-masing departemen juga membentuk perkumpulan isteri pegawainya, sehingga seluruhnya ada 19 organisasi isteri pegawai di masing-masing departemen, misalnya, Artha Kencana (Dep.Keuangan), Idhata (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan), dan lain-lain.

Pada perkembangan selanjutnya, pada masa Orde Baru semua organisasi isteri karyawan departemen bergabung dan melebur menjadi Dharma Wanita yang didirikan pada 5 Agustus 1974. Isteri dari Angkatan Bersenjata pun berhimpun menurut kesatuan suaminya masing-masing, seperti Persit, Bayangkari.

Selain organisasi perempuan sebagai isteri pegawai, banyak juga organisasi perempuan yang berdiri berdasarkan profesi dari masing-masing karier dan profesi, termasuk dalam Angkatan Bersenjata, seperti perkumpulan perempuan dalam bidang jurnalistik, arkheologi, kesenian, pertanian dan lain-lain, sedangkan dalam Angkatan Bersenjata perempuan bergabung dalam Polisi Wanita, Wanita Angkatan Udara, Korps Wanita Angkatan Darat, dan Korps Wanita Angkatan Laut.

Pada jaman Orde Baru, pemerintah telah menyadari bahwa perempuan perlu diberi peran dalam pembangunan. Untuk itu, perempuan dihimpun dalam tiga organisasi utama, yaitu PKK, Dharma Wanita, dan Dharma Pertiwi, yang menyebar mulai dari pusat sampai ke daerah pedesaan. Dharma Wanita adalah organisasi yang dimaksudkan bagi para isteri pegawai sipil, sedangkan Dharma Pertiwi adalah wadah berorganisasi bagi para isteri tentara dan polisi, sedangkan PKK atau Pembinaan Kesejahteraan Keluarga untuk kaum perempuan di masyarakat.

Khusus untuk PKK, sebenarnya sasaran organisasi ini adalah untuk seluruh keluarga, namun pada perkembangannya, terpusat pada peran perempuan. Hal ini disebabkan oleh pentingnya peran serta perempuan dalam pembinaan keluarga, yang nantinya akan berdampak pula pada pembinaan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara.3

Kegiatan ketiga organisasi ini di samping untuk mengabdi pada program-program pemerintah, juga untuk membangun kaum perempuan lainnya dalam menjalankan peran perempuan Indonesia yang saat itu belum merasakan manfaat dari peran sertanya dalam pembangunan.

Pada dekade akhir pemerintahan Orde Baru, isu gender mulai muncul, sehingga disadari bahwa perempuan harus diberdayakan. Dalam pembangunan yang bernuansa gender, perempuan dan laki-laki harus selalu mendapat akses yang sama dalam pembangunan, dapat berpartisipasi dan dapat mempunyai kesempatan yang sama dalam penetapan keputusan dan akhirnya dapat menikmati keuntungan dari pembangunan tersebut secara bersama-sama.

Keadaan Perempuan Indonesia Masa Kini

Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari R.A. Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah murid perempuan dan laki-laki seimbang pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Akan tetapi jumlah perempuan makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang sekolah. Hal ini disebabkan oleh masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki, yang menganggap bahwa "setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga." Dengan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan untuk bersekolah, maka persentase anak perempuan yang mencapai pendidikan minimal (Wajar 9 tahun) jauh lebih rendah dari anak laki-laki; begitu juga jumlah buta huruf perempuan pada umur 15-45 tahun jumlahnya 2-3 kali lebih banyak dari laki-laki. Rendahnya pendidikan perempuan berakibat pada usaha untuk mencari nafkah dan pemeliharaan kesehatan individu dan keluarganya. Semua ini mengakibatkan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP).

Diskriminasi terhadap perempuan setelah kemerdekaan 63 tahun ini tidak hanya terjadi pada kesempatan bersekolah bagi anak perempuan saja, melainkan masih pula terjadi pada dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier dan dalam dunia politik praktis. Kita semua mengetahui bahwa prestasi anak perempuan di semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60%-70% adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Juga perempuan masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.

Meskipun demikian, ternyata masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai kedudukan atau peningkatan prestasi seperti yang diharapkan, apalagi untuk kedudukan pimpinan atau pengambil keputusan lainnya. Untuk mencapai kedudukan yang setara dengan kedudukan laki-laki, seperti kedudukan pimpinan, dan pengambil keputusan, perempuan dituntut untuk mempunyai kelebihan prestasi yang lebih menonjol, serta harus melalui perjuangan yang sangat berat, padahal tuntutan semacam ini bagi laki-laki pun tidak dirasa perlu. Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganut paham patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias gender.

Ketimpangan dan kurangnya peran serta perempuan dan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP), secara umum mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan Nasional. Bila KHP perempuan rendah dan tidak diajak untuk berperan serta dalam pembangunan, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila perempuan diberi kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut bahu-membahu dan meringankan beban pembangunan.

Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam Human Development Report tahun 2006, yang mengukur pembangunan kualitas manusia melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), ternyata nilai IPM Indonesia 2005 adalah 69,6. Angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean, dan berada dalam ranking sepertiga terakhir. Untuk mengukur pembangunan berdasarkan gender, dipakai Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG Indonesia tahun 2005 adalah 65,1, jadi IPG lebih rendah dari IPM, yang berarti masih terjadi kesenjangan gender dan menandakan bahwa kualitas hidup perempuan masih sangat tertinggal dari kualitas hidup laki-laki. Nilai IPG adalah perbedaan kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki.

Pengukuran IPM dan IPG berdasarkan tiga kategori, yaitu tingkat pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Bedanya, pada IPG memakai pengukuran dibedakan antara perempuan dan laki-laki. Pengukuran lain yang menunjukkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan ditunjukkan juga dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yaitu indeks yang memperlihatkan peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Semua kategori pengukuran IPM, IPG maupun IDG di Indonesia masih sangat tertinggal, keadaan ini diperparah dengan terjadinya konflik antarsuku, budaya agama dan lain-lain. Kejadian kekerasan terhadap perempuan juga dapat menghambat pembangunan, karena dengan adanya kekerasan ini perempuan makin terpuruk dan makin tertinggal, sedangkan jumlah penduduk Indonesia, perempuan dan laki-laki hampir sama.

Diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:

    Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
    Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, maka anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka ijin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, maka pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
    Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila sebuah keluarga, di mana seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai Ibu Rumah Tangga saja sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
    Dalam peningkatan karier di pekerjaan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah maupun dalam pekerjaan, dalam penentuan kenaikan jabatan atau peningkatan karier perempuan, selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
    Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
    Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.

Penutup

Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Jumlah penduduk perempuan adalah hampir sama dengan penduduk laki-laki, karena itu peran perempuan sangat berarti. Saya dapat mengatakan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama hampir 63 tahun merdeka ini disebabkan karena kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Sebagaimana telah saya singgung di atas, dalam melaksanakan program pembangunan, bila perempuan mempunyai kualitas hidup yang optimal, maka perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan nasional/daerah. Sebaliknya, bila perempuan dibiarkan tidak berdaya atau kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan, sehingga pembangunan akan terhambat.

Perempuan Indonesia harus menjadi manusia Indonesia yang bermartabat dan maju, tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain, juga harus mampu berperan aktif dalam pergaulan nasional maupun internasional. Diperlukan motivator untuk mendorong kaum perempuan untuk lebih berprestasi. Visi pembangunan pemberdayaan perempuan adalah tercapainya keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dalam pencapaiannya perlu dilaksanakan berbagai ragam kegiatan. Salah satu upaya yang ingin dicapai adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. Secara nyata dan kita sadari bersama bahwa seiring dengan perkembangan globalisasi, maka reformasi dan kehidupan yang demokratis dalam melaksanakan pemberdayaan perempuan di masa-masa mendatang akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Secara obyektif, hingga saat ini kendala dan tantangan di lapangan nampak semakin jelas dan menunjukkan betapa kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan nampak begitu kentara. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya kebijakan-kebijakan publik yang masih sering mengabaikan perempuan sebagai titik perhatiannya, yang disebabkan oleh konsep gender yang belum banyak dipahami oleh berbagai pihak.

Kita semua memahami bahwa apa yang kita upayakan selama ini untuk memberikan yang terbaik bagi peningkatan kualitas kaum perempuan, bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Kami menyadari bahwa pemahaman akan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) masih sangat bervariasi tingkatannya. Pelaksanaan pengarusutamaan gender yang merupakan strategi untuk mengintegrasikan gender ke dalam kebijakan dan program pembangunan di seluruh sektor pembangunan memerlukan suatu mekanisme kerja yang kuat, yang didukung dengan kualitas sumber daya manusianya.

Kaum perempuan Indonesia, menurut pengamatan saya, bila diberi kesempatan akan mampu meningkatkan kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, dan kita harus terus melakukan strategi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam pembangunan nasional agar mereka tidak menjadi beban pembangunan. Bila perempuan dihambat untuk diberdayakan, maka dengan sendirinya juga akan menghambat upaya optimal untuk memajukan Pembangunan Nasional kita.[]

Oleh: Meutia Hatta Swasono
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Peran Perempuan Dalam Pembangunan

Peran Perempuan Dalam Pembangunan
13 tahun yang lalu tepatnya September tahun 2000, Pemerintah Indonesia bersama dengan 189 negara-negara lain mengeluarkan kesepakatan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan pembangunan dan pengentasan kemiskinan yaitu Millenium Development Goals (MDG's). Ada 8 buah kesepakatan dalam MDGs' tersebut, salah satunya adalah mendukung adanya persamaan gender dan pemberdayaan perempuan.

Salah satu wujud Dalam upaya menyukseskan kesepakatan tersebut, pemerintah dalam undang-undang pemilu mewajibkan kepada seluruh partai politik untuk menempatkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014 mendatang. Dengan adanya undang-undang tersebut keterwakilan perempuan di seluruh parpol haruslah dimanfaatkan dengan baik.

Perempuan bukan hanya sebagai pemanis dari suatu organisasi maupun partai saja, tetapi perempuan haruslah mendapat posisi yang strategis dan sebagai pengambil kebijakan, karena dengan adanya partisipasi perempuan baik dalam pengambil kebijakan di eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka komitmen dalam MDGs' bisa tercapai.

Sekarang ini sudah bukan jamannya lagi perempuan harus berdiri dibelakang laki-laki, tetapi sekarang ini perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki, sehingga tidak ada lagi istilah "Siti Nurbaya". Sehingga perempuan di Indonesia mempunyai peran dan kontribusi yang sama dengan pria dalam menyukseskan komitmen MDGS'.

Selain itu dengan adanya peran perempuan dalam proses pembangunan di negara kita ini, pertumbuhan ekonomi terus meningkat, kemiskinan sehingga mengakibatkan bertambahnya angka kematian anak bisa diminimalisir, juga meminimalisir angka kematian ibu ketika proses melahirkan.



    Blogger news

    Blogroll

    About